UTAMAUTAMAUTAMAUTAMAUTAMAUTAMAUTAMAUTAMAUTAMAUTAMA

29 Desember 1999


 

pendidikan arsitektur indonesia dalam bahasan
bulletcoklat.GIF (1033 bytes)
Selama ini pendidikan arsitektur selalu dipahami dalam konteks pendidikan formal khususnya yang terlembagakan dalam sistem pendidikan tinggi. Ketika produk-produk perguruan tinggi ternyata belum mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan dari fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat, sistem pendidikan arsitektur kembali dipertanyakan kemampuannya dalam "membumikan" ilmunya ke dalam bahasa kebutuhan masyarakat. -red.

bulletcoklat.GIF (1033 bytes)

Berbicara tentang pendidikan arsitektur, kita terlebih dahulu harus memfokuskan diri pada "si arsitek". Arsitek, menurut Vitruvius, adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk memahami seni, mengerti akan musik, filsafat, puisi, sastra juga berkemampuan untuk merancang dan membangun yang berdasar atas fungsi, bentuk dan konstruksi. Dogma Vitruvius atas posisi arsitek inilah yang kemudian dipahami dan dianut dalam kelas masyarakat modern. "Sehingga arsitek sebenarnya diharapkan untuk menjadi seorang 'Superman', " terang Ir. B. Revianto, M. Arch., staf pengajar Jurusan Arsitektur Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Pendidikan arsitektur - seperti tertuang dalam Rekomendasi UIA (Union Internationale dus Architects - Ikatan Arsitek Internasional) tentang standar profesionalisme dalam praktek Arsitektur pada UIA Council Meeting di Chandigarh, India, 1997 - haruslah meyakinkan bahwa semua lulusannya mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam desain arsitektural, termasuk di dalamnya sistem teknis dan syarat - syarat seperti pertimbangan kesehatan keamanan, keseimbangan ekologis, dan haruslah mengerti tentang budaya, intelektual, sejarah, sosial, ekonomi dan konteks lingkungan dalam arsitektur. Mereka juga harus mampu menaati aturan normatif arsitek dan bertanggung jawab kepada umat manusia.

Pada kenyataannya, pengharapan yang berlebihan pada kemampuan arsitek baru terwujud hanya pada dataran konseptual. Seringkali produk-produk dari perguruan tinggi terkesan gagap terhadap realita yang ada. Tudingan langsung ditujukan kepada kurikulum pendidikan arsitektur Indonesia yang dianggap sebagai kunci permasalahan pokok yang selama ini menjadi agenda pembahasan.

Ketidakjelasan orientasi arah dari kurikulum nasional pendidikan arsitektur seringkali menjadikan jalannya proses pendidikan arsitektur menjadi ragu dan serba ‘tanggung’. Revianto menegaskan bahwa kurikulum nasional sendiri menginginkan bahwa calon arsitek haruslah dibekali dengan pengetahuan yang kompleks dan komprehensif meskipun hanya sekedar ‘icip-icip’ (coba-coba, red).

"Sebenarnya yang harus segera kita lakukan sekarang ini adalah pemberian ketegasan batas-batas yang akan kita jadikan fokus sasaran (pendidikan), " lanjut Revianto. Ketegasan batas-batas inilah yang sebenarnya diharapkan mampu untuk ‘mengarahkan’ calon arsitek. Batasan-batasan yang kemudian seringkali menjadi kabur adalah mengenai batasan profesionalisme dan batasan ilmiah (akademis).

 

 

gb1utama.gif (16818 bytes)

 

Adanya kecenderungan bahwa kurikulum pendidikan arsitektur Indonesia lebih menitikberatkan pada orientasi akademis memunculkan anggapan bahwa aspek profesionalisme menjadi tidak tersentuh dan seringkali dilupakan. Ir. Ikaputra, M.Eng, Phd., staf pengajar Arsitektur Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengatakan, "kurikulum nasional yang ada saat ini memiliki dampak positif bahwa mahasiswa mempunyai kemampuan mengembangkan ide atau gagasan atau juga konsep transformasi desain, tetapi sisi negatifnya mahasiswa sekarang mempunyai skill yang sangat kurang."
 

 

Pada kenyataannya memang seringkali masyarakat kita belum menghargai terhadap produk-produk sarjana arsitektur dari perguruan tinggi. Pandangan umum yang seringkali menempatkan posisi arsitek hanya bekerja bagi kepentingan para klien yang berasal dari golongan ekonomi mampu telah sedemikian lama hinggap di benak masyarakat. Hal inilah yang kemudian kurang disadari oleh arsitek bahwa tugas utama mereka yaitu sebagai pendamping masyarakat -baik dari strata sosial ekonomi manapun juga bagi tingkat pendidikan apapun- dan untuk menerjemahkan keinginan dan aspirasi mereka untuk kemudian diwujudkan dalam sebuah produk desain telah lama dilupakan. Banyak arsitek telah menggantikannya dengan produk-produk disain komersial yang lebih menitikberatkan pada aspek orientasi keuntungan.

Pergeseran orientasi dari arsitek pada saat mereka bekerja dengan visi dan misi dari perguruan tinggi yang telah mencetak mereka lebih dikarenakan tidak adanya penanaman nilai-nilai kemanusiaan pada sistem pendidikan arsitektur Indonesia. Akibatnya, ‘sesuatu’ yang harusnya dapat dijadikan pegangan dalam melangkah menjadi tidak terserap. Erna Dewanti Astuti, mahasiswa arsitektur UGM angkatan’98, berpendapat, "pendidikan tinggi harus bisa menjadi kekuatan intelektual yang mampu memberikan pelayanan, konsultasi dan pengabdian bagi kehidupan sosial." Inilah yang kemudian harus dijadikan dasar bagi sebuah sistem pendidikan arsitektur yaitu pendidikan yang berbasis pada kebutuhan masyarakat banyak.

|home|NEXT|