LIPUTANLIPUTANLIPUTANLIPUTANLIPUTANLIPUTANLIPUTANLIPUTAN

29 Desember 1999


 

bulletcoklat.GIF (1033 bytes)
aksesibilitas

bulletcoklat.GIF (1033 bytes)

|home|

Ada yang berbeda di sepanjang trotoar Jl. Malioboro penggal Hotel Garuda sampai Jl. Perwakilan. Di antara sesaknya perabot kota, vegetasi, dan gerobak warung kaki lima, ada menyembul satu garis lurus ubin pemandu. Ubin ini dibangun sejak 20 September 1999, menjelang diadakannya Diseminasi Nasional Perwujudan Fasilitas Umum yang Aksesibel bagi Semua, 27 - 28 September 1999 di Hotel Garuda, Yogyakarta.
 

 

 

Fasilitas bagi difabel (penyandang cacat) untuk pencapaian yang mudah, seperti ubin pemandu, masih dipandang sebelah mata bagi kebanyakan orang. Menurut Mohammad Soedioto dari Dewan Nasional Penyandang Cacat Indonesia (DNPCI) dalam makalahnya Lingkungan yang Manusiawi dengan Fasilitas Umum yang Aksesibel bagi Semua dibacakan saat diseminasi, hal demikian merupakan bagian dari kultur orang 'normal' yang memandang difabel sebagai manusia tidak beruntung, lemah, tidak mampu, menderita, memalukan, dan dipandang sebagai penyandang cobaan dari Tuhan.

 

"Kultur yang membentuk pola berpikir masyarakat yang diskriminatif ini diwujudkan secara nyata dalam bentuk sarana - sarana fisik / fasilitas umum yang ada yang tidak aksesibel bagi para difabel," katanya. Kultur demikian mungkin terdengar aneh bagi manusia modern, tapi itu nyata. Mengamati perkembangan Kota Yogya dan arsitektur bangunannya, kita tidak menemukan perkembangan pula pada tingkat ketersediaan fasilitas yang aksesibel, apalagi untuk menemukan kelengkapannya.

Di antara sekian banyak pusat perbelanjaan, rumah makan, tempat pertemuan, dan hotel, beberapa hotel yang bisa dihitung dengan jari yang memberikan ruangnya untuk para difabel. Hotel - hotel seperti Hotel Melia - penerima Penghargaan Aksesibilitas '99 - dan Hotel Hyatt Regency menyediakan beberapa kamar khusus dan fasilitas lain seperti toilet dan ramp untuk para difabel. Ketersediaan itu masih jauh dari lengkap. Banyak yang harus dibenahi terutama untuk kemandirian para difabel, bukan sekedar kenyamanan karena pelayanan.

Pemerintah sendiri, dengan Keputusan Mentri Pekerjaan Umum No. 468/KPTS/1998 tanggal 1 Desember 1998, menekankan perlunya ada perhatian terhadap akses untuk penyandang cacat. Peraturan yang, kalau terpaksa, bisa menjadi sebuah kekuatan yang memaksa para pengelola bangunan atau lingkungan binaan untuk lebih memberi perhatian pada fasilitas untuk para difabel.

Perhatian yang diharapkan terutama penekanan pada beberapa persyaratan teknis pada bangunan umum dan lingkungan, antara lain ukuran dasar ruang, jalur pedestrian, dan jalur pemandu. Ketersediaannya akan memberikan kemudahan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.

Yang demikian menjadi sosok ideal bagi semua. Ketika ada gerakan untuk menciptakan kota yang ramah terhadap kaum difabel terutama pada seluruh fasilitas publik.

"Ini berarti membalik cara berpikir dominan bahwa jika seseorang yang duduk di atas kursi roda dan tidak bisa beribadah di tempat ibadah karena tidak ada tangga dan akses terhadap difabel, maka yang dipersalahkan janganlah kaum difabel, melainkan perlu intropeksi akan adanya diskriminasi dalam arsitektur bangunan tersebut," tekan DR. Mansour Fakih dalam makalahnya Akses Ruang yang Adil Meletakkan Dasar Keadilan Sosial.

Kita sering bingung mengidentifikasi sosok kemanusiaan kita dan mencarinya di Aceh, Timor Timur, atau Ambon. Kita menjadi diskriminatif, karena sementara kita membawa jauh kemanusiaan kita, di dekat kita pun banyak para difabel perlu perhatian ke arah kemandiriannya. (poen)

< HOME >